Dermaga Hati

yyyaaaaah daripada banyak melamun,berharap ridho-Nya dan selalu memperbaiki akhlak,aqidah dan ketauhidan hamba ini yg masih kurang bersyukur dan masih menduakan-Nya. "jangan menyebarkan ilmu yang bertujuan agar manusia membetulkanmu dan menganggap baik kepadamu, akan tetapi sebarkanlah ilmu dengan tujuan agar Allah swt. Membenarkanmu"(Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a.)

Tarekat Syadziliyah

Sumber:Sufi News
Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ibn Atha'illah as- Sukandari adalah orang yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.

Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.

Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: "Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali". Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah.

Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.
Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).
Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.
Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.

Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:

Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.
Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.
Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.
Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.


Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Ibn Atha'illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.

ementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita."

Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn Atha'ilah berikut: "Asma al-Latif," Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, "Yang Mengalahkan" sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.

Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah "ketenagan" yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri "ketenangan" ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.

Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.

Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.

Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, disamping Hizib al-Hafidzah, merupaka salah satu Hizib yang sangat terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan. Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Dan di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan megis doa ini hanya dapat "dibeli" dengan berpuasa atau pengekangn diri yang liannya dibawah bimbingan guru.

Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah.

Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkan dan menjamin respon supra natural. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasnya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid tersebut sedang mengikuti suaru pelatihan dari sang guru.

Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.

Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.

[B]Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili: [/B]

[#]Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya " Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!
[/#]
[#]Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): "Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkn keridhoan Allah, dan jangan duduk dimajelis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah."
[/#]
[#]Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ihtiar sendiri.
[/#]
[#]Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya.
[/#]
[#]Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala' yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya.
[/#]
[#]Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal.
[/#]
[#]Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu'min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : "Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.
Sumber:Sufi News

Gerbang Cinta Para Wali

Dikutip dari
Sufinews.com
Ada cahaya yang memendar nun jauh di sana. Tak habis-habisnya mata memandang penuh pesona. Indah dan menakjubkan, hingga tiada sesaat pun melainkan sebuah klimaks dari puncak rasa kita, terkadang seperti puncak gelombang Cinta, terkadang menghempas seperti sauh-sauh kesadaran di hempas pantai, terkadang begitu jauh di luar batas harapan, padahal ia lebih dekat dari sanubari kita sendiri.

Tiba-tiba cahaya itu ada di depan mata hati kita. Ternyata sebuah gerbang keagungan yang dahsyat penuh kharisma. Gerbang itu seakan bicara: “Akulah gerbang para kekasih Tuhan”. Sejengkal saja kaki kita melangkah, memasuki pintu gerbang itu, seluruh kesadaran kita sirna dalam luapan gelombang cinta yang digerakkan oleh kedahsyatan angin kerinduan. Kata pertama yang berbunyi di sana adalah deretan puja dan puji:

“Segala puji bagi Allah yang telah meluapi lembah kalbu para wali-Nya dengan luapan Cinta kepada-Nya. Dia yang membangunkan istana khusus agar luapan arwah para kekasih-Nya itu, senantiasa menyaksikan keagungan-Nya. Dia pula yang menghamparkan padang ma’rifatullah melalui rahasia-rahasia jiwanya. Lalu kalbunya berada di sebuah taman surga. Taman itu penuh dengan lukisan-lukisan ma’rifatullah yang tiada tara. Sedangkan arwah-arwah mereka berada di Taman Malakut, tak sejenak pun arwah itu melainkan berada dalam keabadian penyucian pada-Nya. Duh, rahasia arwahnya, mendendangkan tasbih dalam tarian Lautan Jabarut-Nya.”

Lalu sebuah gerbang yang begitu agung dan indahnya, mengukirkan prasasti yang ditulis oleh Qalam Ruhani. “Segala Puja bagi Allah, yang telah membuka gerbang Cinta-Nya bagi para Kekasih-Nya. Lalu Dia mengurai rantai yang membelenggu jiwanya, sehingga mereka teguh dalam keharusan khidmah pada-Nya, sedangkan cahaya-cahaya-Nya melimpahi akal-akal mereka. Lalu tampak jelas, keajaiban-keajaiban kekuasaan-Nya, sedangkan kalbu-kalbu mereka terjaga dari haru biru tipudaya yang menumpah pada pesona-pesona cetak lahiriyah jagad semesta, sampai akhirnya menggapai ma’rifat paripurna. Amboi, ruh-ruh mereka tersingkapkan dari kemahasucian paripurna-Nya, dan sifat-sifat keagungan-Nya. Merekalah penempuh jalan hadirat-Nya, dalam kenikmatan rahasia kedekatan dengan-Nya, melalui tarekat dahsyat rindu dendam-Nya, hingga mereka termanifestasi dalam hakikat, melalui penyaksian Ketunggalan-Nya. Mereka telah diraih dari mereka, dan Dia menyirnakan mereka dari mereka, lalu mereka ditenggelamkan dalam lautan Kemaha-Dia-an-Nya. Dia memisahkan pasukan-pasukan terpencar dalam kesatuan kitab-Nya bagi para kekasih terpilih-Nya. Lalu mereka terjaga oleh kerahasiaan jiwa melalui limpahan cahaya-cahaya, agar ia menjadi obyek manifestasi, di samping ke-Tunggal-Dirian-Nya.”

Kalau saja kita ingin mengenal gerbang-gerbang Kekasih Allah itu, semata bukanlah hasrat dan ambisi untuk menjadi Kekasih-Nya. Sebab, mengangkat derajat seseorang menjadi Kekasih-Nya adalah Hak Allah, dan Allah sendiri yang memberi Wilayah itu kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.

Sekadar berkah atas cahaya kewalian dari kekasih-kekasih-Nya itu, sesungguhnya lebih dari cukup bagi kita. Sedangkan pengetahuan kita atas dunia kewalian yang menjadi bagian dari misteri-misteri Ilahi, tidak lebih dari limpahan-limpahan Ilahi, agar kita lebih yakin kepada-Nya atas keimanan kita selama ini.

Para Auliya Allah adalah Ahlullah. Mereka terpencar di muka bumi sebagai “tanda-tanda” Ilahiyah, dengan jumlah tertentu, dan tugas-tugas tertentu. Di antara mereka ada yang ditampakkan karamahnya, ada pula yang tidak ditampakkan sama sekali. Oleh karena itu hamba-hamba Allah yang diberi kehebatan luar biasa, tidak sama sekali disebut Waliyullah, dan belum tentu juga yang tidak memiliki kelebihan sama sekali, tidak mendapat derajat Wali Allah. Para Auliya adalah mereka yang senantiasa mencurahkan jiwanya untuk Ubudiyah kepada Allah, dan menjauhkan jiwanya dari kemaksiatan kepada Allah.

Di masyarakat kita, seringkali terjebak oleh fenomena-fenomena metafisikal yang begitu dahsyat yang muncul dari seseorang. Lalu masyarakat kita mengklaim bahwa orang tersebut tergolong Waliyullah. Padahal kata seorang syekh sufi, “Jika kalian melihat seseorang bisa terbang, bisa menembus batas geografis dengan cepat, bahkan bisa menembus waktu yang berlalu dan yang akan datang, janganlah Anda anggap itu seorang Wali Allah sepanjang ia tidak mengikuti Sunnah Rasulullah SAW.“

Mengapa? Sebab ada ilmu-ilmu hikmah tertentu yang bisa dipelajari, agar seseorang memiliki kehebatan tertentu di luar batas ruang dan waktu, dan ironisnya ilmu demikian disebut sebagai Ilmu Karamah. Padahal karamah itu, adalah limpahan anugerah Ilahi, bukan karena usaha-usaha tertentu dari hamba Allah.

Karamah sendiri bukanlah syarat dari kewalian. Kalau saja muncul karamah pada diri seorang wali, semata hanyalah sebagai petunjuk atas kebenaran ibadahnya, kedudukan luhurnya, namun dengan syarat tetap berpijak pada perintah Nabi SAW. Jika tidak demikian, maka karamah hanyalah kehinaan syetan. Karena itu di antara orang-orang yang saleh ada yang mengetahui derajat kewaliannya, dan orang lain tahu. Ada pula yang tidak mengetahui derajat kewaliannya sendiri, dan orang lain pun tidak tahu. Bahkan ada orang lain yang tahu, tetapi dirinya sendiri tidak tahu.

Tetapi di belahan ummat Islam lain juga ada yang menolak konsep kewalian. Bahkan dengan mudah mengklaim yang disebut Auliya’ itu seakan-akan hanya derajat biasa dari derajat keimanan seseorang. Tentu saja, kelompok ini sama kelirunya dengan kelompok mereka yang menganggap seseorang, asal memiliki kehebatan, lalu disebut sebagai Waliyullah, apalagi jika orang itu dari kalangan kiai atau ulama.

Meluruskan pandangan Kewalian di khalayak ummat kita, memang sesuatu yang rumit. Ada ganjalan-ganjalan primordial dan psikologis, bahkan juga ganjalan intelektual.

Al-Quthub Abul Abbas al-Mursi, semoga Allah meridlainya, menegaskan dalam kitab yang ditulis oleh muridnya, Lathaiful Minan, karya Ibnu Athaillah as-Sakandari, “Waliyullah itu diliputi oleh ilmu dan ma’rifat-ma’rifat, sedangkan wilayah hakikat senantiasa disaksikan oleh mata hatinya, sehingga ketika ia memberikan nasehat seakan-akan apa yang dikatakan seperti identik dengan izin Allah. Dan harus dipahami, bagi siapa yang diizinkan Allah untuk meraih ibarat yang diucapkan, pasti akan memberikan kebaikan kepada semua makhluk, sementara isyarat-isyaratnya menjadi riasan indah bagi jiwa-jiwa makhluk itu.”

“Dasar utama perkara Wali itu,” kata Abul Abbas, “adalah merasa cukup bersama Allah, menerima Ilmu-Nya, dan mendapatkan pertolongan melalui musyahadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia-lah yang mencukupinya.” (QS. ath-Thalaq: 3). “Bukankah Allah telah mencukupi hambanya?” (QS. Az-Zumar: 36). “Bukankah ia tahu, bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Tahu?” (QS. al-‘Alaq :14). “Apakah kamu tidak cukup dengan Tuhanmu, bahwa sesungguhnya Dia itu Menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat: 53).
Syekh Agung Abdul Halim Mahmud dalam memberikan catatan khusus mengenai Lathaiful Minan karya as-Sakandari mengupas panjang lebar mengenai Kewalian ini. Hal demikian dilakukan karena, as-Sakandari menulis kitab itu memulai tentang wacana Kewalian, karena memang, buku besar itu ingin mengupas tuntas tentang biografi dua Waliyullah terbesar sepanjang zaman, yaitu Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzili ra dan muridnya, Syekh Abul Abbas al-Mursi.

Dalam sebuah ayat yang seringkali menjadi rujukan utama dunia Kewalian adalah: “Ingatlah bahwa sesungguhnya para Wali-wali Allah itu tidak punya rasa takut dan rasa gelisah. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka bertaqwa. Mereka mendapatkan kegembiraan dalam kehidupan dunia dan dalam kehidupan akhirat. Tidak ada perubahan bagi Kalimat-kalimat Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62-64)
Dalam salah satu hadits Qudsi yang sangat populer disebutkan, “Rasulullah SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Siapa yang memusuhi Wali-Ku, maka benar-benar Aku izinkan orang itu untuk diperangi. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibanding apa yang Aku wajibkan padanya. Dan hamba-Ku itu senantiasa mendekatkan pada-Ku dengan ibadah-ibadah Sunnah sehingga Aku mencintai-Nya. Maka bila Aku mencintainya, Akulah pendengarannya di mana ia mendengar, dan menjadi matanya di mana ia melihat, dan menjadi tangannya di mana ia memukul, dan menjadi kakinya di mana ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, Akupasti memberinya, jika ia memohon perlindungan kepadaKu Aku pasti melindunginya.”

Karenanya al-Hakim at-Tirmidzi, salah satu sufi besar generasi abad pertengahan, menulis kitab yang sangat monumental hingga saat ini, Khatamul Auliya’ (Tanda-tanda Kewalian), yang di antaranya berisi 156 pertanyaan mengenai dunia sufi, dan siapa yang bisa menjawabnya, maka ia akan mendapatkan Tanda-tanda Kewalian itu. Beliau juga menulis kitab ‘Ilmul Auliya.

[B]Ragam Para Wali[/B]
Para Syekh Sufi membagi macam para Wali dengan berbagai versi, termasuk derajat masing-masing di hadapan Allah Ta’ala. Dalam kitab Al-Mafakhirul Aliyah fi al-Ma’atsir asy-Syadzilyah disebutkan ketika membahas soal Wali Quthub. Syekh Syamsuddin bin Katilah Rahimahullaahu Ta’ala menceritakan: “Saya sedang duduk di hadapan guruku, lalu terlintas untuk menanyakan tentang Wali Quthub. “Apa makna Quthub itu wahai tuanku?” Lalu beliau menjawab, “Quthub itu banyak. Setiap muqaddam atau pemuka sufi bisa disebut sebagai Quthub-nya.

Sedangkan al-Quthubul Ghauts al-Fard al-Jami’ itu hanya satu. Artinya bahwa Wali Nuqaba’ itu jumlahnya 300. Mereka itu telah lepas dari rekadaya nafsu, dan mereka memiliki 10 amaliyah: empat amaliyah bersifat lahiriyah, dan enam amaliyah bersifat bathiniyah. Empat amaliyah lahiriyah itu antara lain:

1) Ibadah yang banyak, 2) Melakukan zuhud hakiki, 3) Menekan hasrat diri, 4) Mujahadah dengan maksimal. Sedangkan lelaku batinnya: 1) Taubat, 2) Inabat, 3) Muhasabah, 4) Tafakkur, 5) Merakit dalam Allah, 6) Riyadlah. Di antara 300 Wali ini ada imam dan pemukanya, dan ia disebut sebagai Quthub-nya.

Sedangkan Wali Nujaba’ jumlahnya 40 Wali. Ada yang mengatakan 70 Wali. Tugas mereka adalah memikul beban-beban kesulitan manusia. Karena itu yang diperjuangkan adalah hak orang lain (bukan dirinya sendiri). Mereka memiliki delapan amaliyah: empat bersifat batiniyah, dan empat lagi bersifat lahiriyah: Yang bersifat lahiriyah adalah 1) Futuwwah (peduli sepenuhnya pada hak orang lain), 2) Tawadlu’, 3) Menjaga Adab (dengan Allah dan sesama) dan 4) Ibadah secara maksimal. Sedangkan secara Batiniyah, 1) Sabar, 2) Ridla, 3) Syukur), 4) Malu.

Adapun Wali Abdal berjumlah 7 orang. Mereka disebut sebagai kalangan paripurna, istiqamah dan memelihara keseimbangan kehambaan. Mereka telah lepas dari imajinasi dan khayalan, dan mereka memiliki delapan amaliyah lahir dan batin. Yang bersifat lahiriyah: 1) Diam, 2) Terjaga dari tidur, 3) Lapar dan 4) ‘Uzlah. Dari masing-masing empat amaliyah lahiriyah ini juga terbagi menjadi empat pula: Lahiriyah dan sekaligus Batiniyah:
Pertama, diam, secara lahiriyah diam dari bicara, kecuali hanya berdzikir kepada Allah Ta’ala. Sedangkan Batinnya, adalah diam batinnya dari seluruh rincian keragaman dan berita-berita batin. Kedua, terjaga dari tidur secara lahiriyah, batinnya terjaga dari kealpaan dari dzikrullah. Ketiga, lapar, terbagi dua. Laparnya kalangan Abrar, karena kesempurnaan penempuhan menuju Allah, dan laparnya kalangan Muqarrabun karena penuh dengan hidangan anugerah sukacita Ilahiyah (uns). Keempat, ‘uzlah, secara lahiriyah tidak berada di tengah keramaian, secara batiniyah meninggalkan rasa suka cita bersama banyak orang, karena suka cita hanya bersama Allah.

Amaliyah Batiniyah kalangan Abdal, juga ada empat prinsipal: 1) Tajrid (hanya semata bersama Allah), 2) Tafrid (yang ada hanya Allah), 3) Al-Jam’u (berada dalam Kesatuan Allah, 3) Tauhid.

Ragam lain dari para Wali ada yang disebut dengan Dua Imam (Imamani), yaitu dua pribadi, salah satu ada di sisi kanan Quthub dan sisi lain ada di sisi kirinya. Yang ada di sisi kanan senantiasa memandang alam Malakut (alam batin) -- dan derajatnya lebih luhur ketimbang kawannya yang di sisi kiri --, sedangkan yang di sisi kiri senantiasa memandang ke alam jagad semesta (malak). Sosok di kanan Quthub adalah Badal dari Quthub. Namun masing-masing memiliki empat amaliyah Batin, dan empat amaliyah Lahir. Yang bersifat Lahiriyah adalah: Zuhud, Wara’, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Sedangkan yang bersifat Batiniyah: Kejujuran hati, Ikhlas, Mememlihara Malu dan Muraqabah.

Wali lain disebut dengan al-Ghauts, yaitu seorang tokoh agung dan tuan mulia, di mana seluruh ummat manusia sangat membutuhkan pertolongannya, terutama untuk menjelaskan rahasia hakikat-hakikat Ilahiyah. Mereka juga memohon doa kepada al-Ghauts, sebab al-Ghauts sangat diijabahi doanya. Jika ia bersumpah langsung terjadi sumpahnya, seperti Uwais al-Qarni di zaman Rasul SAW. Dan seorang Qutub tidak bisa disebut Quthub manakala tidak memiliki sifat dan predikat integral dari para Wali.

Al-Umana’, juga ragam Wali adalah kalangan Malamatiyah, yaitu mereka yang menyembunyikan dunia batinnya, dan tidak tampak sama sekali di dunia lahiriyahnya. Biasanya kaum Umana’ memiliki pengikut Ahlul Futuwwah, yaitu mereka yang sangat peduli pada kemanusiaan.
Al-Afraad, yaitu Wali yang sangat spesial, di luar pandangan dunia Quthub.

Para Quthub senantiasa bicara dengan Akal Akbar, dengan Ruh Cahaya-cahaya (Ruhul Anwar), dengan Pena yang luhur (Al-Qalamul A’la), dengan Kesucian yang sangat indah (Al-Qudsul Al-Abha), dengan Asma yang Agung (Ismul A’dzam), dengan Kibritul Ahmar (ibarat Berlian Merah), dengan Yaqut yang mememancarkan cahaya ruhani, dengan Asma’-asma, huruf-huruf dan lingkaran-lingkaran Asma huruf. Dia bicara dengan cahaya matahati di atas rahasia terdalam di lubuk rahasianya. Ia seorang yang alim dengan pengetahuan lahiriah dan batiniyah dengan kedalaman makna yang dahsyat, baik dalam tafsir, hadits, fiqih, ushul, bahasa, hikmah dan etika. Sebuah ilustrasi yang digambarkan pada Sulthanul Aulioya Syeikhul Quthub Abul Hasan Asy-Syadzily – semoga Allah senantiasa meridhoi .

Sufinews.com

Mendzolimi Diri Sendiri

Sufinews.com
Ada ungkapan agung dan cukup menggugat, dari Syeikh Abul Hasan asy-Syadzili, “Janganlah hatimu digelisahkan oleh urusan makhluk, sebab gelisah karena urusan makhluk berarti anda telah mendzolimi diri sendiri. Orang yang menzolimi diri tidak bisa jadi imam”

Hikmah yang indah. Bermilyar manusia gelisah dan risau, memang karena urusan dengan makhluk. Padahal makhluk adalah sumber kegelisahan dan kerisauan. Kenapa kita tidak gelisah jika urusan Allah terlantar, terbengkelai, teledor?

Makhluk meyeret nafsu kita. Sedangkan Allah memanggil hati kita. Makhluk membayangi dan mengganggu hati kita, sedangkan Allah mencahayai hati kita. Allah mengingat kita, sehingga kita mengingatNya. Apakah anda ingin tidak diingat Allah, sehingga anda mengabaikan Dzikrullah?

Bertahun-tahun kita aniaya hati kita, kita penjara ruh kita, bahkan kita lukai dan pedang dunia, betapa dzolim kita ini. Tak ada yang membebaskan kita kecuali anmpunan dan rahmatNya kepada kita.

Kisah Al Qomah

Aisyah ra pernah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW : “hak siapakah yang paling utama atas wanita? beliau bersabda : (hak) suaminya. Aku bertanya : dan atas laki-laki? beliau bersabda : ibunya.“(HR Ahmad dan An-Nasai)

Pada masa Rasulullah ada seorang pemuda yang bernama Al-Qomah, ia sangat rajin beribadah. Suatu hari ia tiba-tiba jatuh sakit keras dan dalam kondisi sakaratul maut, maka isterinya menyuruh orang memanggil Rasulullah dan mengabarkan tentang hal tersebut.

Ketika berita ini sampai kepada Rasulullah, maka Rasulullah menyuruh Bilal r.a, Ali r.a, Salamam r.a dan Ammar r.a supaya pergi melihat keadaan Al-Qomah. Ketika mereka sampai ke rumah Al-Qomah, mereka membantu Al-Qomah untuk membacakan kalimah La-ilaa-ha-illallah, tetapi lidah Al-Qomah tidak mampu mengucapkannya.

Melihat kejadian ini, para sahabat meminta Bilal ra untuk memberitahu Rasulullah.Sesampai dirumah Rasulullah, Bilal menceritakan kondisi Al-Qomah. Lalu Rasulullah bertanya kepada Bilal; “Wahai Bilal apakah ayah Al-Qomah masih hidup?” jawab Bilal r.a, ” Tidak, ayahnya sudah meninggal, tetapi ibunya masih hidup dan sangat tua usianya”. Kemudian Rasulullah SAW, berkata kepada Bilal; “Pergilah kamu kepada ibunya dan sampaikan salamku, dan katakan kepadanya kalau dia dapat berjalan, suruh dia datang menemuiku, kalau dia tidak dapat berjalan katakan aku akan kerumahnya”.

Ketika Bilal sampai di rumah ibu Al-Qomah, ia berkata seperti yang telah disampaikan Rasulullah kepadanya, maka ibu Al-Qomah berkata; “Aku lebih patut pergi berjumpa Rasulullah”. Lalu ibu Al-Qomah mengangkat tongkat dan terus berjalan menuju ke rumah Rasulullah. Bertanya Nabi Muhammad SAW. kepada ibu Al-Qomah; “Terangkan kepada ku perkara yang sebenarnya tentang Al-Qomah, jika kamu berdusta niscaya akan turun wahyu kepadaku”. Berkata Nabi lagi; “Bagaimana keadaan Al-Qomah?”, jawab ibunya; “Ia sangat rajin beribadah, ia sholat, berpuasa dan sangat suka bersedekah sebanyak-banyaknya sehingga tidak diketahui banyaknya”. Bertanya Rasulullah; “Bagaimana hubungan kamu dengan dia?”, jawab ibunya; ” Aku murka kepadanya”, lalu Rasulullah bertanya; “Mengapa”, jawab ibunya; “Kerana ia mengutamakan istrinya dari aku, dan menurut kata-kata isterinya sehingga ia menentangku”.

Maka Rasulullah berkata; “Murka kamu itulah yang telah mengunci lidahnya dari mengucap La iilaa ha illallah”, kemudian Nabi Muhammad SAW menyuruh Bilal mencari kayu api untuk membakar Al-Qomah. Ketika ibu Al-Qomah mendengar perintah Rasulullah lalu ia bertanya; “Wahai Rasulullah, engkau hendak membakar putera ku didepan mataku?, bagaimana hatiku dapat menerimanya”. Kemudian Nabi Muhammad SAW berkata; “Wahai ibu Al-Qomah, siksa Allah itu lebih berat dan kekal, oleh itu jika kamu mahu Allah mengampunkan dosa anakmu itu, maka hendaklah kamu mengampuninya”, demi Allah yang jiwaku ditangannya, tidak ada guna sholatnya, sedekahnya, selagi kamu murka kepadanya”. Maka ibu Al-Qomah berkata sambil mengangkat kedua tangannya; “Ya Rasulullah, aku persaksikan kepada Allah dilangit dan kau Ya Rasulullah dan mereka-mereka yang hadir disini bahwa aku ridha pada anakku Al-Qomah”.

Maka Rasulullah mengarahkan Bilal pergi melihat Al-Qomah sambil berkata; “Pergilah kamu wahai Bilal, lihat apakah Al-Qomah dapat mengucapkan La iilaa ha illallah atau tidak”. Rasulullah berkata lagi kepada Bilal ; “Aku kuatir kalau kalau ibu Al-Qomah mengucapkan itu semata-mata kerana pada aku dan bukan dari hatinya”. Maka ketika Bilal sampai di rumah Al-Qomah tiba-tiba terdengar suara Al-Qomah menyebut; “La iilaa ha illallah”. Lalu Bilal masuk sambil berkata; “Wahai semua orang yang berada disini, ketahuilah sesungguhnya murka ibunya telah menghalangi Al-Qomah dari mengucapkan kalimah La iila ha illallah, kerana ridha ibunyalah maka Al-Qomah dapat menyebut kalimah syahadat”. Maka matilah Al-Qomah setelah dia mampu mengucap kalimah tersebut.

Maka Rasulullah Muhammad SAW pun sampai di rumah Al-Qomah sambil berkata; “Segeralah mandi dan kafankan”, lalu Nabi Muhammad SAW mensholatkannya dan sesudah jenazah al-Qomah dikuburkan,Nabi Muhammad SAW sambil berdiri dekat kubur berkata; “Hai sahabat Muhajirin dan Anshar, barang siapa yang mengutamakan isterinya daripada ibunya maka ia adalah orang yang dilaknat oleh Allah SWT, dan tidak diterima daripadanya ibadat fardhu dan sunatnya.

Akhirnya Aku Buang Ilmu Hikmah dan Kanuragan (Badrul Munir / 34 Th - Mantan Guru Kedigdayaan)

Akhirnya Aku Buang Ilmu Hikmah dan Kanuragan
Saturday, 07 June 2008 04:07 Hits: 11868 Email Print PDFSuka10
Badrul Munir / 34 Th - Mantan Guru Kedigdayaan
Jika Anda memiliki pertanyaan, “apa bedanya antara Sufi dan dukun? ”Sodorkan saja pertanyaan itu ke Badrul Munir. Pasalnya lelaki lajang kelahiran Bogor, yang akrab disapa Munir itu, sebelum bertarekat, ia lama berjibaku di dunia
paranormal, kadigdayan atau ilmu hikmah.
Ilmu Supranatural yang dimiliki Munir sebenarnya effect dari kesungguhannya mendalami Silat Cimande, satu dari empat aliran pencak silat tanah Pasundan. Tiga aliran lainnya adalah Cikalong, Sabandar dan Sera.Kemampuannya memperagakan jurus-jurus pencak silat yang sudah dikenalkan oleh seorang pendekar bernama Kahir sejak tahun 1760 ini membuatnya merasa perlu mendalami ilmu kebal dan ilmu kehadiran atau ilmu hikmah.
Berbagai guru dari berbagai daerah seperti Sukabumi, Cianjur dan Banten, dengan berbagai keahlian, didatanginya. Aneka ragam amalan dari yang berbahasa Jawa, Sunda sampai Arab ia dawam-kan dengan tujuan disegani kawan dan tak dapat dijatuhkan lawan.
Kesohoran Munir sebagai guru silat dan hikmah yang “digdaya” mulai menggema gaungnya, setidaknya dilihat dari jumlah muridnya yang mencapai hingga ratusan orang, atau tamu yang sowan kepadanya mulai dari yang minta penglaris, pengasih sampai calon Bupati yang minta dukungan kadigdayan agar dapat memenangkan pemilihan. Terlebih, guru muda ini selalu tampil terdepan disetiap penggerebegan tempat-tempat judi dan maksiat di daerahnya.
Hanya bermodalkan bacaan-bacaan sejenis, Yaahuu jabardas-jabardis yartatas keris Soleman, den kaya keris mengkana landhepe tangan ingsun, lalu tangan menggebrak meja, musuh akan menjadi ciut dan gagu,atau hanya dengan menggebrak tangan kanan diatas tanah, puluhan lawan yang menyerang akan terpelanting, kocar-kacir, tidak keruan.“Praktis. Setiapmalam saya tidur hanya dua jam cuma untuk meladenitamu yang terus berdatangan,” kata Munir mengenang.
Diantara amalan dan wiridan yang dimiliki, Munir lebih tertarik untuk mengamalkan Hizb Khofiy, Hizb Bahr danHizb Nashor karya Imam Abul Hasan Asy-Syadziliy. Mungkin karena alasan “kedahsyatan kekuatan” didalamnya, ketiga hizb itu mendapat tempat istimewa dihati Munir. Tidak hanya itu, dalam diri Munirada dorongan kuat untuk mengenal siapa Imam Abul Hasan Asy-Syadziliy. “Ada sejenis invisible hand yang mendorong saya untuk mengenal lebih jauh sosok AbulHasan Asy-Syadziliy, penulis ketiga hizb yang sering saya wiridkan tersebut” tutur Munir.
Pucuk dicita ulam tiba. Dari Majalah Cahaya Sufi, Munir menemukan runtutan silsilah Imam Abul Hasan Asy-Syadziliy pada seorang Mursyid Pengasuh Pesulukun Tarekat Agung (PETA) di Tulung Agung Jawa Timur. Tanpa pikir panjang, mantan mahasiswa IAIN Jakarta ini langsung pergi ke Tulung Agung, dengan satu harapan ia dapat mengasah dan mempertajam lagi ketiga hizib yang sudah rutin diwiridkannya. Sepanjang perjalanan menuju Tulung Agung, Munir memimpikan ketiga hizibnya itu, ibarat sebuah sebuah keris, akan dapat lebih memancarkan pamornya, kelaksekembalinya dari Tulung Agung.
Apa yang didapatinya setibanya di pondok PETA ? Munirdianjurkan untuk suluk, berbai-at dan diminta membuang semua ilmu hikmah atau kanuragan yang pernah dipelajarinya. Sebagai gantinya, ia hanya diberitahu tiga hal yang harus dimohonkannya kepada Allah Swt; Terang hati; Tetap Iman; Selamat didunia dan akhirat, termasuk ketika mewiridkan tiga hizb favoritnya itu. “Ach, apa iya ?,” Munir membatin waktu itu.
Tak mudah awalnya bagi Munir menerima anjuran tersebut, terutama ketika dirinya diminta untuk membuang ilmu kanuragan nya. Ia merasa eman sebab ilmu-ilmu itu didapati nya melalui proses yang panjang, berkeringat dan berdarah-darah. Ia malah lebih memilih memperdalam kedigdayaan ketimbang menyelesaikan studi S1 nya. Apalagi jika dilihat dari sisimateri dan status sosial, mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyyah ini telah mendapatkan semuanya dan merasa nyaman dengan ilmu-ilmu beraroma wingit-mistik dan silat Cimandenya, yang bersilsilah dari Kahir, Rangga, Ace Naseha, H. Abdul Shamad, H. Idris, H. Adjid, H. Zarkasih, H. Niftah dan H. R.A. Sutisna, yang dipunyai itu. [pagebreak]
Mendapat penjelasan bahwa lelaku yang dijalaninya selama ini telah melesat jauh dari hal-hal yang diridlai oleh Allah Swt; berpuasa, tapi tujuannya agar dikunjungi banyak tamu; dapat membuat tubuhnya kebal dari timah panas dan benda-benda tajam. Munir hanya bisa diam, tersipu.
Sesaat kemudian, Munir pun menyadari bahwa ilmu kehadiran yang dipunyainya lebih banyak dibantu oleh kekuatan gaib terutama yang datang dari bangsa jin. Hal ini bisa dilihat ketika ilmu kehadiran nya bekerja, betapa orang yang “dihadiri” (baca; dirasuki), suaranya tiba-tiba berubah menjadi datar tanpa intonasi; kekuatan fisiknya melebihi kekuatan yang sebenarnya; tatapan matanya pun tajam, kosong lurus kedepan; pada tingkatan tertentu orang yang kerasukan mampu berbuat sesuatu yang tak lazim seperti terbang atau melempar benda yang beratnya hingga mencapai ton-tonan hanya dengan sebelah tangan dengan sekali gerakan saja; matanya mendelik hingga hanya terlihat kelopak putihnya saja dan seterusnya. Munir kembali terdiam, tersipu.
Sejak suluk kali pertamanya itulah, ia buang seluruh amalan, semua wiridan yang pernah dipunyainya sebelumnya.
Kini, setelah beberapa kali suluk, Munir mulai memahami pelajaran pertama yang didapatinya ketikabaru menapaki Dunia Sufi yakni: Terang hati; Tetap Iman; Selamat didunia dan akhirat. “Tiga hal itu, saya rasa modal pertama dan paling utama untuk setiap manusia yang hidup didunia,” tuturnya. “Tanpa itu semua, manusia akan selalu terjerembab pada jurang-jurang kekonyolan,” tambahnya.
Sesudah beberapa kali mendapat ijazah amalan-amalan tarekat syadziliyyah ia semakin merasakan dirinya bukan apa-apa selain seorang hamba yang lemah, penuh hina dan dina. Ia semakin merasa malu jika ada dorongan halus yang mendorongnya untuk bertanya apakah hatinya sudah bersih dan suci atau sudah di maqom manakah ia kini berada.
Munir juga sangat ketat mewaspadai dirinya dari setiap vested interest yang tanpa disadari bisa merasuki siapa saja termasuk pengamal tarekat sekalipun. Ia tak ingin terperosok pada kekeliruan yangpernah dialaminya, menggunakan “jurus zikir” kepada setiap orang yang datang meminta bantuan batinnya. “Saya geli bercampur sedih ketika melihat ada diantara jamaah tarekat syadziliyyah yang masih sok bergaya dukun, memberi jaminan bahwa kalau dzikir tertentu dibaca sekian kali, maka maksudnya (seperti naik pangkat, ngusir jin, banyak murid atau ramai pembeli) akan tercapai,” ungkap Munir yang kalau saja muak kepada sesama dibolehkan agama ia akan muak (terutama) kepada para pengamal tarekat yang selalu disibukkan oleh urusan-urusan wirid dengan perasaan seolah-olah tengah melakukan kebaikan padahal semua yang dilakukannya itu (sebenarnya merupakan lakulampah dunia para dukunyang) selalu digantungkan pada khasiat, mujarab, bisa begini dan bisa begitu.
Ketika Cahaya Sufi menanyakan kenapa Munir masih mengajarkan Silat Cimande, alasan utama yang disampaikannya karena Guru Ruhaninya, Syeikh Sholahuddin, memintanya untuk terus menularkan kepada orang lain, disamping Silat Cimande yang ada saat ini sudah dibersihkan dari ritual mistik. “Silat Cimande yang saya tularkan sekarang ini tidak lebih dari sebuah amanat dalam membangun dan mengembangkan kepribadian dan karakter mulia anak-anak muda dikampung ini, Mas. Silat itu cuma sebagai sarana mengajak teman-teman (muda) untuk secara bersama-sama “mengunjungi” Allah, Mas,”beber Munir.
Meski sudah lebih dari enam kali bersuluk, sikapnya secara syar’i masih tetap terbilang wajar. Hanya sajamemang, ia semakin tegas menjaga jiwa dan nuraninya agar tidak terkotori oleh pengaruh keindahan dan hiruk pikuk dunia. Ia juga selalu menjaga agar tidak berlebihan baik dalam ucapan, tindakan, hasrat dan keinginan.
Yang pasti. berlama-lama bersama Badrul Munir akan membawa kita untuk merenungkan sebuah hadist Nabi Saw: “Betapa banyak amal ibadah yang tampak bersifat ukhrawi tapi sebenarnya duniawi....”

from sufinews.com

Wasiat Syeikh Abul Hasan Asy-Asyadzily tentang Wirid

Dikutip dari Sufinews.com
Wirid atau kebiasaan ubudiyah orang-orang shiddiqin itu ada dua puluh macam:
1-Puasa,
2-Shalat,
3-Dzikir,
4-Membaca Al-Qur’an,
5-Menjaga tubuh (dari tindakan haram)
6-Mencerca nafsu dari syahwatnya,
7-Amar ma’ruf
8-Nahi munkar

[B]Semua kategori tersebut didasarkan pada:[/B]
9-Zuhud terhadap dunia
10-Tawakkal kepada Allah
11-Ridha pada keputusan Allah
12-Cinta yang murni yang didasarkan empat perkara:
13-Iman
14-Tauhid
15-Niat yang benar
16-Cita-cita yang luhur.

Namun semua ini tak bisa diharapkan kecuali dengan empat karakter di bawah ini:
17-Ilmu
18-Wara’
19-Takut penuh rindu kepada Allah
20-Tawadhu’ kepada sesama hamba Allah.

Ibadah para shiddiqin (ungkapan ini mengutip fatwa gurunya) ada dua puluh macam:
Makanlah kamu sekalian; minumlah; berpakaianlah; bepergianlah; menikahlah; bertempat tinggallah; letakkanlah segala hal pada porsi yang sesuai dengan perintah Allah Swt.; janganlah berlebih-lebihan; beribadahlah kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya; seharusnya Anda sekalian mencegah bencana; menanggung beban; mencurahkan kebajikan. Semua ini merupakan separo kecerdasan.
Separo yang lain adalah: menunaikan kewajiban-kewajiban; menjauhi larangan-larangan; ridha terhadap qadha Allah;

Dan diantara ibadah kepada Allah adalah tafakkur terhadap perintah Allah; sedangkan berpegang teguh kepada agama Allah merupakan dasar ibadah dan zuhud duniawi. Sedang prinsip utamanya adalah tawakkal kepada Allah.

Ini semua merupakan ibadah orang-orang yang sehat jiwanya dari orang-orang yang beriman. Kalau Anda sakit jiwa, maka carilah kesembuhan dan pembebasan melalui para Ulama; namun pilihlah diantara mereka ini yang taqwa, yang senantiasa memberi petunjuk dan bertawakkal kepada Allah.
Aku pernah bertanya kepada guruku tentang wirid ahli hakikat. Sang guru menjawab, “Engkau harus menggugurkan hawa nafsu, dan senantiasa mahabbah kepada Allah.”

Memang, cinta itu menolak untuk digunakan oleh pecinta kepada selain yang dicintainya.
Suatu ketika ada seseorang yang bertanya kepada guru --semoga Allah merahmatinya -- “Berilah saya amalan dan wirid-wirid.”

Lantas guru marah dan berkata, “Apakah aku ini Rasul? Lalu memberi perintah kewajiban-kewajiban? jelas, segala yang fardhu itu sudah maklum, segala larangan itu sudah populer. Karena itu jagalah kefardhuan, dan tolaklah kemaksiatan, jagalah hatimu dari hasrat duniawi dan hasrat pada wanita, mencintai kedudukan serta memprioritaskan syahwat. Terimalah apa yang telah diberikan Allah Swt. kepadamu. Apabila ada jalan keluar menuju ridha bagimu, bersyukurlah. Bila yang keluar adalah jalan siksaan, maka bersabarlah. Cinta kepada Allah itu merupakan pusat dimana segala kebaikan berpusat padanya. Cinta itu merupakan dasar dari ragam karamah. Untuk membentengi semua itu perlu ada empat macam:

Wara’ yang benar;
Niat yang benar;
Amal yang ikhlas dan
Bersahabat dengan pengetahuan.

Ini semua pun tidak akan sempurna kecuali dengan berguru pada orang yang shalih atau berguru kepada syeikh yang bisa mensukseskannya.
Dikutip dari Sufinews.com

Ketenangan Hati



Sudan lama Abu nawas tidak dipanggil ke istana untuk menghadap Baginda.
Abunawas juga sudah lama tidak muncul di kedai teh. Kawan-kawan Abunawas
banyak yang merasa kurang bergairah tanpa kehadiran Abu nawas. Tentu saja
keadaan kedai tak semarak karena Abu nawas si pemicu tawa tidak ada.
Suatu hari ada seorang laki-laki setengah baya ke kedai teh menanyakan Abu
nawas. la mengeluh bahwa ia tidak menemukan jalan keluar dari rnasalah pelik
yang dihadapi.
Salah seorang teman Abunawas ingin mencoba menolong.

"Cobalah utarakan kesulitanmu kepadaku barang-kali aku bisa membantu." kata
kawan Abunawas.
"Baiklah. Aku mempunyai rumah yang amat sempit. Sedangkan aku tinggal
bersama istri dan kedelapan anak-anakku. Rumah itu kami rasakan terlalu
sempit sehingga kami tidak merasa bahagia." kata orang itu membeberkan
kesulitannya.
Kawan Abunawas tidak mampu memberikan jalan keluar, juga yang lainnya.
Sehingga mereka menyarankan agar orang itu pergi menemui Abunawas di
rumahnya saja.
Orang itu pun pergi ke rumah Abunawas. Dan kebetulan Abu Nawas sedang
mengaji. Setelah mengutarakan kesulitan yang sedang dialami, Abunawas
bertanya kepada orang itu.
"Punyakah engkau seekor domba?"
"Tidak tetapi aku mampu membelinya." jawab orang itu.

"Kalau begitu belilah seekor dan tempatkan domba itu di dalam rumahmu."
Abunawas menyarankan.
Orang itu tidak membantah. la langsung membeli seekor domba seperti yang
disarankan Abunawas.
Beberapa hari kemudian orang itu datang lagi menemui Abu Nawas.
"Wahai Abunawas, aku telah melaksanakan saranmu, tetapi rumahku
bertambah sesak. Aku dan keluargaku merasa segala sesuatu menjadi lebih
buruk dibandingkan sebelum tinggal bersama domba." kata orang itu mengeluh.
"Kalau begitu belilah lagi beberapa ekor unggas dan tempatkan juga mereka di
dalam rumahmu:" kata Abunawas.
Orang itu tidak membantah. la langsung membeli beberapa ekor unggas yang
kemudian dimasukkan ke dalam rumahnya. Beberapa hari kemudian orang itu
datang lagi ke rumah Abu Nawas.
"Wahai Abu Nawas,aku telah melaksanakan saran-saranmu dengan menambah
penghuni rumahku dengan beberapa ekor unggas. Namun begitu aku dan
keluargaku semakin tidak betah tinggal di rumah yang makin banyak

perighuninya. Kami bertambah merasa tersiksa." kata orang itu dengan wajah
yang semakin muram.
"Kalau begitu belilah seekor anak unta dan peliharalah di dalam rumahmu."kata
Abu Nawas menyarankan
Orang itu tidak membantah. la langsung ke pasar hewan membeli seekor anak
unta untuk dipelihara di dalam rumahnya.
Beberapa hari kemudian orang itu datang lagi menemui Abu Nawas. la berkata,
"Wahai Abu Nawas, tahukah engkau bahwa keadaan di dalam rumahku sekarang
hampir seperti neraka. Semuanya berubah menjadi lebih mengerikan dari pada
hari-hari sebelumnya. Wahai Abu Nawas, kami sudah tidak tahan tinggal
serumah dengan binatang-binatang itu." kata orang itu putus asa.
"Baiklah, kalau kalian sudah merasa tidak tahan maka juallah anak unta itu."
kata Abu Nawas.
Orang itu tidak membantah. la langsung menjual anak unta yang baru
dibelinya.
Beberapa hari kemudian Abu Nawas pergi ke rumah orang itu
"Bagaimana keadaan kalian sekarang?" Abu Nawas bertanya.
"Keadaannya sekarang lebih baik karena anak unta itu sudah tidak lagi tinggal
disini." kata orang itu tersenyum. "Baiklah, kalau begitu sekarang juallah
unggas-unggasmu." kata Abu Nawas.
Orang itu tidak membantah. la langsung menjual unggas-unggasnya.
Beberapa hari kemudian Abu Nawas mengunjungi orang itu.
"Bagaimana keadaan rumah kalian sekarang ?" Abu Nawas bertanya.
"Keadaan sekarang lebih menyenangkan karena unggas-unggas itu sudah tidak
tinggal bersama kami." kata orang itu dengan wajah ceria.
"Baiklah kalau begitu sekarang juallah domba itu." kata Abu Nawas.

Orang itu tidak membantah. Dengan senang hati ia langsung menjual
dombanya.
Beberapa hari kemudian Abu Nawas bertamu ke rumah orang itu. la bertanya,
"Bagaimana keadaan rumah kalian sekarang ?" "Kami merasakan rumah kami
bertambah luas karena binatang-binatang itu sudah tidak lagi tinggal bersama
kami. Dan kami sekarang merasa lebih berbahagia daripada dulu. Kami
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepadamu hai Abu Nawas." kata
orang itu dengan wajah berseri-seri.
"Sebenarnya batas sempit dan luas itu tertancap dalam pikiranmu. Kalau
engkau selalu bersyukur atas nikmat dari Tuhan maka Tuhan akan mencabut
kesempitan dalam hati dan pikiranmu." kata Abu Nawas menjelaskan.
Dan sebelum Abu Nawas pulang, ia bertanya kepada orang itu,
"Apakah engkau sering berdoa ?"
"Ya." jawab orang itu.

"Ketahuilah bahwa doa seorang hamba tidak mesti diterima oleh Allah karena
manakala Allah membuka pintu pemahaman kepada engkau ketika Dia tidak
memberi engkau, maka ketiadaan pemberian itu merupakan pemberian yang
sebenarnya."

Dikutip dari : Kisah Abu Nawas

Posted by : Dermaga hati bagas
Tags : Allah,Muhammad,Tasawuf,Hikam,Athaillah,Ibnu,Kisah
teladan,Sahabat,tabiin,kyai,Syadzili,hasan